Judul Buku: NARASI SEJARAH SOSIAL PAPUA: Bangkit
dan Memimpin Dirinya Sendiri
Editor : Dr. I Ngurah Suryawan (Universitas Negeri Papua)
ISBN:
978-979-3580-54-8
Bulan terbit:
Desember 2011
Jumlah Halaman: i - xxiii
; 1 - 232 hal
Ukuran Buku:
18 cm X 21 cm
Harga: Rp. 55.000,-
Sejarah sosial di Papua hanya mencatatkan perjuangan orang-orang Papua yang
“pro-Indonesia”, yang berjuang melawan penjajahan Belanda12 tahun lebih lama
daripada perjuangan kemerdekaan melawan Belanda di Jawa atau daerah lainnya.
Kekuasaan Belanda secara resmi berakhir
di Tanah Papua pada 27 Desember 1949. Namun bisa kita buktikan betapa keringnya
uraian perjuangan “pahlawan nasional” dari Tanah Papua dalam buku-buku
pelajaran sejarah (Aditjondro, 2000). Untuk pahlawan yang “pro-Indonesia” saja
sejarah “resmi” Indonesia seakan enggan memberikan ruang, apalagi sejarah
terhadap gerakan perlawanan terhadap nasionalisme Indonesia. Tentu ruang
tersebut sangat tertutup.
Sejarah rakyat Papua “dihilangkan” melalui beragam cara. Jika rakyat Papua
berbicara tentang sejarahnya dianggap separatis, berbahaya dan patut
diwaspadai. Pembersihan, penghapusan, dan peminggiran sejarah rakyat Papua
dilakukan untuk membangun konstruksi bahwa Bangsa Papua tidak mempunyai
sejarah, dan Indonesia lah yang datang sebagai mesianistik yang membawa barang
yang bernama “sejarah” bagi Bangsa Papua.
Pasca Pepera 1969 inilah proses Indonesianisasi berlangsung kencang di
Tanah Papua. Beragam program pembangunan diintrodusir dengan meminggirkan
pengalaman dan nilai-nilai sosial budaya rakyat Papua. Sistem sentralistik dan top down menyebabkan Tanah Papua hanya
menjadi objek pembangunan, hal yang sama juga terjadi di setiap daerah di
Indonesia semasa rezim otoritarian Orde Baru berkuasa. Diskriminasi berlapis
juga terjadi karena Papua bukan hanya jauh sejarah geografis, sebagai daerah
paling timur di Indonesia, tapi juga “jauh” secara kultural.
Buku ini
berusaha mengelaborasi tiga poin penting. Pertama,
menguraikan kompleksitas status politik dan memetakan gerakan-gerakan
“nasionalisme Papua” yang pernah terjadi. Kedua,
gerakan-gerakan kontemporer yang memperlihatkan bangkitnya suara-suara yang
terpinggirkan (subaltern),
suara-suara gugatan dari para “nasionalisme Papua” terhadap status politik dan
kehadiran Indonesia di Tanah Papua. Ketiga,
artikel ini mencoba merefleksikan bagaimana praktik kolonisasi dan respon
gerakan sosial yang terjadi selama ini di Tanah Papua.