TANAH PAPUA DI GARIS BATAS


Judul Buku: TANAH PAPUA DI GARIS BATAS:Perspektif, Refleksi dan Tantangan
Editor: Dr. I Ngurah Suryawan  (Universitas Negeri Papua)
ISBN: 978-602-98111-8-6
Bulan terbit: Desember 2011
Jumlah Halaman: i –  xxviii  ; 1 - 330
Ukuran Buku: 18 cm X 21 cm
Harga: Rp. 59.000,-

Sejarah sosial di Papua hanya mencatatkan perjuangan orang-orang Papua yang “pro-Indonesia”, yang berjuang melawan penjajahan Belanda12 tahun lebih lama daripada perjuangan kemerdekaan melawan Belanda di Jawa atau daerah lainnya. Kekuasaan Belanda  secara resmi berakhir di Tanah Papua pada 27 Desember 1949. Namun bisa kita buktikan betapa keringnya uraian perjuangan “pahlawan nasional” dari Tanah Papua dalam buku-buku pelajaran sejarah (Aditjondro, 2000). Untuk pahlawan yang “pro-Indonesia” saja sejarah “resmi” Indonesia seakan enggan memberikan ruang, apalagi sejarah terhadap gerakan perlawanan terhadap nasionalisme Indonesia. Tentu ruang tersebut sangat tertutup.  
Sejarah rakyat Papua “dihilangkan” melalui beragam cara. Jika rakyat Papua berbicara tentang sejarahnya dianggap separatis, berbahaya dan patut diwaspadai. Pembersihan, penghapusan, dan peminggiran sejarah rakyat Papua dilakukan untuk membangun konstruksi bahwa Bangsa Papua tidak mempunyai sejarah, dan Indonesia lah yang datang sebagai mesianistik yang membawa barang yang bernama “sejarah” bagi Bangsa Papua.
Sejak tahun 1961-1962 (mulainya pemerintahan peralihan PBB-UNTEA) hingga pelaksanaan Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat) 14 Juli-2 Agustus 1969, menjadi momen krusial perdebatan status politik terhadap Tanah Papua. Di dalamnya terdapat silang sengkarut dan klaim sejarah yang menyesatkan yang tidak hanya melibatkan Pemerintah Indonesia, namun juga kepentingan internasional.
Pasca Pepera 1969 inilah proses Indonesianisasi berlangsung kencang di Tanah Papua. Beragam program pembangunan diintrodusir dengan meminggirkan pengalaman dan nilai-nilai sosial budaya rakyat Papua. Sistem sentralistik dan top down menyebabkan Tanah Papua hanya menjadi objek pembangunan, hal yang sama juga terjadi di setiap daerah di Indonesia semasa rezim otoritarian Orde Baru berkuasa. Diskriminasi berlapis juga terjadi karena Papua bukan hanya jauh sejarah geografis, sebagai daerah paling timur di Indonesia, tapi juga “jauh” secara kultural.
Buku ini berusaha mengelaborasi tiga poin penting. Pertama, menguraikan kompleksitas status politik dan memetakan gerakan-gerakan “nasionalisme Papua” yang pernah terjadi. Kedua, gerakan-gerakan kontemporer yang memperlihatkan bangkitnya suara-suara yang terpinggirkan (subaltern), suara-suara gugatan dari para “nasionalisme Papua” terhadap status politik dan kehadiran Indonesia di Tanah Papua. Ketiga, artikel ini mencoba merefleksikan bagaimana praktik kolonisasi dan respon gerakan sosial yang terjadi selama ini di Tanah Papua.
Next Prev

Rp. 59.000,- Disc 15% View
Rp. 39.000,- Disc 15% View
Rp. 55.000,- Disc 15% View
Rp. 36.000,- Disc 15% View
Rp. 43.000,- Disc 15% View
Rp. 43.000,- Disc 15% View


Rp. 35.000,- Disc 15% View
Rp. 50.000,- Disc 15% View
Rp. 47.900,- Disc 15% View
Rp. 70.000,- Disc 15% View
Rp. 46.000,- Disc 15% View
Rp. 45.000,- Disc 15% View


Rp. 38.000,- Disc 15% View
Rp. 40.500,- Disc 15% View
Rp. 34.500,- Disc 15% View
Rp. 35.500,- Disc 15% View
Rp. 30.000,- Disc 15% View
Rp. 38.000,- Disc 15% View