Judul Buku: PERSPEKTIF TEOLOGI DAN FILSAFAT ANTARA
AL-GHAZÂLÎ DAN HUME: Kritik Dekonstruktif
Nalar Kausalitas dalam Teologi dan Filsafat
Penulis: Ahmad Nawawi
ISBN:
978-602-95805-9-4
Bulan terbit:
November 2011
Jumlah Halaman: i
– xii
; 1 - 232
Ukuran Buku:
18 cm X 21 cm
Harga : Rp. 43.000
Teori Kausalitas memiliki
akar sejarah yang panjang. Di masa Yunani, Aristoteles menegaskan teori ini
dengan mendeskripsikan akan adanya empat macam sebab. Teori ini kemudian
diadopsi serta dikembangkan oleh para filosof baik di dunia Islam maupun di
kalangan Kristen. Tokoh-tokoh seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina dan Ibn
Rusyd, St. Anselmus, Thomas Aquinas dari skolastik Kristen, tercatat sebagai
golongan yang mendukung teori ini.
Namun, meski teori
kausalitas didukung oleh banyak filosof, bukan berarti teori ini berkembang
tanpa kritik. Salah satu sisi kontroversial dalam sejarah pemikiran Islam
misalnya, adalah munculnya kritik tajam Al-Ghazali (1058-1111 M). Bagi
Al-Ghazali konsepsi hukum kausalitas sepenuhnya menjadi otoritas Tuhan. Bahkan
Al-Ghazali – dalam kaitannya untuk
mempertahankan arti mukjizat secara tradisional – sangat meragukan
berlakunya hukum tersebut. Tuhan menurutnya dapat dengan mudah merubah tongkat
menjadi ular tanpa harus melalui format aturan logis-rasional yang benar
berdasarkan tata aturan prinsip-prinsip sebab-akibat.
Refleksitas dari asumsi
Al-Ghazali ini secara signifikan berimplikasi pada pandangannya terhadap
relatifivitasisme eksisitensi prinsip-prinsip sebab akibat yang ada di alam.
Bagi Amin Abdullah, resistensi Al-Ghazali pada keniscayaan kausalitas menjadi
kontra produktif terhadap konstruksi positivisme sains-teknologi, dan
berimplikasi negatif bagi pembentukan semangat etos kerja kemanusiaan.
Namun belakangan pada
abad ke 17 sikap Al-Ghazali ini mendapat legitimasi dari David Hume (1711-1777
M), seorang filosof Barat yang paling terkenal dari kaum empiris. Hume
menekankan bahwa peristiwa kausalitas hanyalah hubungan saling berurutan ansich
yang secara konstan terjadi. Kausalitas tidak bisa digunakan untuk menetapkan
peristiwa yang akan datang berdasarkan peristiwa-peristiwa yang terdahulu.
Semua gagasan hanya bersifat subyektif karena datang dari pikiran. Khususnya
dari hukum psikologi penggabungan gagasan. Bagi Hume, gagasan keterkaitan wajib
antara sebab dan akibat bukan pada objek yang kita amati, melainkan hanya pada
pikiran kita.
Dari sini, antara
Al-Ghazali dan Hume, ada beberapa hal menarik untuk diperbincangkan; Bagaimana
sesungguhnya teori kausalitas mereka? Jika penolakan Al-Ghazali terhadap
kausalitas karena landasan metafisis-teologis, sedangkan Hume berdasarkan
pendekatan emperis-konkrit nir teologis, mengapa mereka memiliki kesamaan
pandangan, padahal keduanya berpijak dari argumentasi yang
diametral-kontradiktif? Bagaimana eksistensi pemikiran keduanya pada konteks
kekinian, implikasi apa yang muncul dari paradigma kausalitas seperti itu?
Lewat pendekatan dan
metodologi yang sangat bertolakbelakang, buku ini “membongkar” sikap Al-Ghazali
dan Hume ketika menafikan prinsip berlakunya hukum sebab akibat. Kesimpulan
yang dianggap paralel ini menjadi menarik untuk dieksplanasikan lewat
penghadapan keduanya di “muka cermin” perbandingan.